TOKYO, KOMPAS.com - Junanto Herdiawan, warga Indonesia di Jepang yang juga penulis Kompasiana, menuliskan pengalamannya merasakan gempa dahsyat disusul tsunami yang terjadi Jumat kemarin. Karyawan Bank Indonesia itu mengatakan bahwa gempa kemarin itu bukanlah gempa biasa, sebagaimana sering terjadi di Jepang.
Berikut penuturannya...
Selama satu tahun tinggal di Jepang, saya sering merasakan gempa. Hampir setiap bulan, Jepang diguncang gempa. Oleh karenanya, saya mulai terbiasa oleh gempa sporadis yang berulangkali terjadi. Biasanya saya akan tetap diam dan menunggu hingga gempa berlalu. Warga Jepang juga terbiasa dengan gempa. Mereka selalu terlihat tenang, setiap gempa mengguncang.
Tapi, gempa kemarin (11/3) sungguh beda. Itu bukan gempa biasa.
Saat guncangan pertama terjadi, saya merasakan getaran yang hebat. Tak lama, lemari di ruang kerja saya jatuh terbalik dan buku-buku bertebaran. Saat itu saya sedang berada di kantor yang berlokasi di lantai 9 sebuah gedung di daerah Marunouchi, Tokyo.
Saya langsung berdiri dan bertanya pada rekan kantor yang warga Jepang. Mulanya mereka mengatakan untuk tenang, namun saat guncangan makin besar, mereka juga panik. Kalau warga Jepang sudah panik, artinya gempa ini serius. Ketika getaran semakin keras, kami bertahan di bawah meja dan melihat ruangan kantor porak poranda. Selain lemari, papan tulis, gantungan jaket, dan buku-buku, ambruk dan berhamburan ke lantai.
Getaran tidak berhenti namun justru bertambah kencang. Debu-debu mulai berjatuhan dari langit-langit ruang kerja. Saat itu, kami mulai panik. Namun di tengah kepanikan, saya kagum dengan kesigapan, standard operation procedure, dari pengelola gedung.
Saat guncangan pertama terjadi, pengeras suara langsung mengumumkan bahwa saat ini terjadi gempa yang cukup keras. Kita diminta untuk tetap bertahan di ruangan. Hal ini bagi saya agak berat, sebab sudah pernah beberapa kali merasakan gempa di gedung tinggi Jakarta. Dan yang dilakukan saat itu adalah, kita berhamburan keluar melalui pintu darurat. Namun hal itu justru dilarang di Jepang.
Peringatan mengatakan bahwa berada di luar gedung saat gempa justru lebih berbahaya. Kami diminta untuk bertahan di dalam. Gedung sudah dirancang untuk tahan gempa. Mudah memang mengatakannya, namun kalau anda berada pada posisi yang secara konsisten diguncang dan dibanting selama bermenit-menit, yang terbersit tentu pikiran untuk segera keluar dari gedung.
Selama hampir dua jam, guncangan tidak berhenti. Keras, reda, kemudian kembali dibanting-banting lagi. Bukan hanya gerakan dari kiri ke kanan, namun juga diguncang dari atas ke bawah. Kami bertahan di bawah meja saat guncangan terjadi.
Pegawai di kantor kami secara sigap langsung membagikan makanan, air minum, mempersiapkan senter dan peluit. Itu memang standar penanganan gempa di gedung-gedung tinggi Jepang. Saat pertama kali berkantor, saya juga sudah diingatkan untuk selalu menyediakan berbagai keperluan standar tersebut.
Saat guncangan semakin keras, pikiran saya tentu tertuju ke keluarga di rumah. Apalagi saat itu anak saya sedang berada di sekolah. Namun saya lebih tenang kalau anak di sekolah, karena sekolah di Jepang telah memiliki standar penanganan gempa, dan anak-anak sudah dilatih menghadapinya.
Anak saya diberikan perangkat gempa dari sekolah, berupa tutup kepala yang selalu harus dipasang di bangkunya setiap hari, baik saat terjadi maupun tidak terjadi gempa. Mereka juga dilatih bagaimana kalau terjadi gempa, ke mana harus berkumpul, dan bagaimana sekolah mengontak orang tua.
Pihak kelurahan juga telah memeringati tentang kemungkinan terjadinya gempa besar ini sejak tahun lalu. Mereka sudah antisipasi akan terjadi gempa besar, namun tidak dapat memastikan kedatangannya. Hal yang dilakukan adalah secara rutin berlatih menghadapi gempa. Di sekolah, di rumah, dan di perkantoran, kami dilatih untuk menghadapi gempa. Di setiap perumahan juga tersedia pengeras suara dan sirene yang menandakan gempa, serta apa yang perlu kita lakukan.
Berdasarkan kondisi tersebut, saya merasa lebih tenang akan kondisi keluarga.
Tiba-tiba, pengeras suara di gedung berbunyi kembali dan mengatakan bahwa seluruh lift dimatikan, para penghuni gedung diminta menjauh dari tempat berbahaya, jangan menyalakan api, dan tetap berada di ruangan. Diingatkan pula bahwa gempa susulan masih akan terus terjadi. Petugas-petugas gedung juga melakukan inspeksi ke setiap ruangan untuk memastikam keamanan gedung dan penghuninya.
Saya berada di gedung sekitar 4 jam hingga pengumuman mengatakan boleh keluar. Namun, saat berhasil keluar gedung, seluruh layanan kereta api dan bis kota dihentikan. Pemerintah kota mengambil langkah antisipatif demi keamanan penumpang. Penduduk Tokyo pun tumpah ruah di jalan, berdesakan di stasiun, karena tidak bisa pulang. Kebanyakan pekerja di Tokyo tinggal di luar kota dan menggunakan kereta api sebagai sarana transportasi mereka. Berhentinya kereta api, berarti terputusnya hubungan dengan rumah.
Karena udara musim dingin begitu menggigil, sekitar 5 derajat, dan jalan kaki tidak mungkin, maka sebagian mereka menginap di kantor. Akibatnya banyak convenience store (kombini) diserbu orang untuk sekedar mendapatkan roti atau onigiri (nasi kepal Jepang).
Hal menarik dari gempa di Jepang adalah perkara kesiapan pemerintah dan warganya dalam menghadapi bencana. Meski panik, mereka terlihat tenang dalam menyikapi bencana. Prosedur dan latihan bertahun-tahun membentuk ketenangan tersebut. Selain itu, budaya memikirkan orang juga patut dicontoh. Saat pulang semalam, meski jalanan padat oleh mobil, masyarakat menyerbu supermarket untuk makanan, warga mencari taksi untuk kembali pulang, mereka tetap melakukannya dengan tertib dan antri secara teratur. Di jalanan, meski macet total, tapi tidak terlihat ada yang menyerobot, bahkan menyalakan klakson.
Gempa dan bencana alam memang tak bisa ditolak. Korban juga tak dapat dihindari. Gempa saat ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah gempa di Jepang. Namun mereka telah mempersiapkan kedatangan gempa ini jauh-jauh hari. Malang tentu tak dapat ditolak, tapi bagaimana kita menyikapi bencana tersebut menjadi penting. Dengan persiapan yang matang dan antisipasi yang baik, meski terdapat korban, jumlahnya bisa diminimalkan.
Bayangkan bila Jepang tidak mempersiapkan diri, termasuk mempersiapkan ketahanan bangunannya. Korbannya mungkin bukan hanya akibat tsunami, tapi ditambah dengan akibat reruntuhan bangunan.
Saat ini, gempa susulan masih terjadi beberapa kali. Mudah-mudahan keadaan bisa lebih baik di sini, dan kita bisa mengambil pelajaran. Mohon doanya dari rekan kompasianer.
 

Muse Anti Illuminati (?)

Berawal dari kontak Multiply, kang Yadi Yuwandi a.k.a Juriglagu, penggemar Muse juga, kemarin menulis artikel tentang Muse yang merupakan sanggahan untuk artikel sebelumnya yang mempertanyakan apakah Muse pengikut Illuminati. Nah, di sini aku coba untuk mem-forward dan share tentang Muse, Illuminati dan segala hal yang (katanya) berhubungan atau hanya kebetulan semata. Bekicot eh cekidot…

Oh iya, artikel sebelumnya bisa Anda baca Muse (Apakah) Pengikut Illuminati?, sedangkan di sini aku share artikel sanggahan yang kuambil dari berbagai sumber.

***

Banyak orang yang salah persepsi tentang Muse dan menyebut bahwa mereka salah satu pengikut Illuminati, tapi ternyata semua itu tidak benar. Sedangkan soal simbol-simbol, video klip, cover dan segala hal yang dikaitkan dengan Illuminati itu hanya sebuah pesan, di mana Muse ingin mempertegas dan memperjelas bahwa kelompok ini benar-benar ada dan mereka sedang bermain-main dengan dunia ini. So? Kita lanjutkan…



Album Muse

Do you know? Di setiap album Muse konon mempunyai tema dan arti sendiri-sendiri. Seperti penjelasan dari salah seorang fans fanatik Muse, menyebutkan bahwa di setiap album Muse terdapat semacam pesan yang tersirat. Tapi itu pun tergantung pemahaman kita masing-masing. Kalau aku sih sebatas paham doang, kalau lagu-lagu Muse memang aneh dan unik, hahaha…

Origin of Symmetry (2001)

Menyangkut tema anti Christ, futurisme, luar angkasa. Terlihat dari lagu-lagunya semisal Bliss, Space Dementia, Citizen Erased. Mereka tampaknya memang ingin menyuarakan ‘sesuatu’.

Hullabaloo (2002)

Interview dengan Matt tentang makna lagu Dead Star (sumber: musewiki.org)

Wartawan : Tell us about the new single Dead Star, was it inspired by space?
Matt : No, yes, kind of. Let me think, I sort of got into that kind of thing, looking into space and all that - bit embarrassing, really. I'm a bit of a Star Trek fan in secret, but don't tell anyone (laughs). The song is about, let me think, it kind of how everyone reacted to the 11 september thing. We were in Boston at the time, we got stuck there, and that's when we recorded those songs. So, in some ways, the lyrics are a little bit about the hysteria around that time and how people were really quick to point fingers at everyone else when they should have pointed fingers at themselves.
Intinya kurang lebih bahwa Matt kurang setuju orang-orang terlalu cepat bereaksi menanggapi isu penyerangan 11 September, di mana orang-orang menunjuk pihak lain sebagai pelakunya melainkan mereka harus mencoba menunjuk diri sendiri” (Matt tidak setuju bahwa pelakunya adalah Osama bin Laden dan dunia Islam, melainkan pelakunya adalah pihak lain yang sengaja membuat persepsi bahwa merekalah yang bersalah dan seolah-olah mengadu domba dunia barat dengan dunia Islam).

Absolution (2003)

Album yang paling aku suka. Bertema tentang anti religion, futurisme, perang irak, luar angkasa, illuminati. Terlihat dari lagu-lagunya seperti Sing for Absolution, Time is Running Out, Thoughts of a Dying Atheist. Sedangkan yang menyinggung tentang Illuminati ada di lagu Ruled by Secrecy, lagu yang terinspirasi dari buku tentang gerakan freemason dan illuminati karya Jimm Marrs dengan judul yang sama.


Pada lirik lagu ini ada kalimat you’re working so hard but you’ll never in charge (kau bekerja begitu keras tapi kau tak pernah ada diatas/memimpin = strata piramid), your death creates success rebuild and suppress (kematianmu menciptakan kesuksesan, membangun kembali dan menekan = kematian beribu-ribu nyawa di WTC merupakan awal kesuksesan. Karena berkat isu penyerangan 11 September, Amerika mempunyai alasan untuk menekan dan menyerang Irak dan Afghanistan dengan dalih mencari teroris. Padahal apa yang mereka cari tak lebih dari limpahan minyak dan ladang opium bernilai jutaan dolar. (memiliki kesamaan maksud dengan lagu Dead Star)

Blackhole and Revelation (2006)

Bertema anti religion, anti NWO, anti perang irak, konspirasi isu 11 september, Illuminati. Bisa Anda temukan di lirik lagu City of Delusion. Can I believe when I don’t trust all your theories turn to dust (teori versi pemerintah Amerika tentang runtuhnya gedung kembar adalah karena bahan bakar jet yang melumerkan fondasi gedung? Bullshit teori yang lemah secara ilmiah), I choose to hide from the ALL SEEING EYE, hahahahaha nah langsung nonjok!!!

The Resistance (2009)

Hahaha, dari judul album saja sudah begitu sangar, perlawanan!!! Anti NWO, political corruption, alien invasion, perlawanan pada Big Brother, perlawanan pada sesuatu yang memang tak benar. Lirik lagu Uprising misalnya, di situ jelas-jelas Muse mengajak untuk melawan Big Brothers.

Rise up and take the power back, it's time that
The fat cats had a heart attack, you know that
Their time is coming to an end
We have to unify and watch our flag ascend
(fat cats= Banker)

(chorus)
They will not Force Us
They will stop Degrading us
They will not Control Us
We will be Victorious

Matt di video klip Uprising menghancurkan televisi, menunjukkan ketidakpercayaannya pada tayangan media yang menyesatkan publik.


Ini Dominic, si drummer, dengan kaos piramida Illuminati terbalik, simbol PERLAWANAN strata bawah yang selalu ditindas strata atas. Di sini bermaksud “memperlihatkan” bukan berarti “mendukung”, menjelaskan dan mempertegas bahwa mereka itu nyata dan benar-benar ada.


Kaos ini juga dipakai Dominic di video klip Undisclosed Desires


dan terakhir…

Pose Matt Bellamy dengan aktivis anti perang Irak di gedung putih (peace sign, no more war!!!)


From : http://tjapplien.blogspot.com/2010/11/muse-anti-illuminati.html